APA ITU ETNOGRAFI

Etnografi berasal dari kata ethnos, yang artinya adalah “sukubangsa” dan graphein, yang berarti “mengukir, menulis, menggambar”. Jadi etnografi adalah tulisan, deskripsi atau penggambaran mengenai suatu sukubangsa tertentu. Suatu sukubangsa tentu terdiri dari manusia-manusia: laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dewasa dan tua Suatu sukubangsa juga tentu memiliki adat-istiadat atau budaya tertentu. Oleh karena itu, suatu sukubangsa memiliki paling tidak dimensi fisik dan budaya. Oleh karena itu pula, di masa lalu -ketika orang belum mengenal fotografi-, sebuah etnografi tentu memuat di dalamnya deskripsi ciri-ciri fisik suatu sukubangsa dan deskripsi adat-istiadat, budaya sukubangsa tersebut.

     Ciri-ciri fisik tersebut meliputi bentuk hidung, bentuk mata, bentuk bibir, bentuk dan warna rambut, bentuk pipi, bentuk rahang, warna kulit, tinggi badan, lebar badan, dan sebagainya. Di masa lalu deskripsi semacam ini biasanya paling awal diberikan, karena penulis (etnografer) ciri-ciri fisik adalah ciri-ciri yang paling awal dilihat ketika orang bertemu orang lain, dan akan paling cepat menarik perhatian, bilamana ciri-ciri fisik ini berbeda sekali dengan ciri-ciri fisik si etnografer itu sendiri. Kini setelah orang mengenal fotografi, deskripsi fisik dalam etnografi sudah berkurang, karena paparan tentang ciri-ciri fisik tersebut lebih mudah dan dapat lebih nyata ditampilkan melalui foto-foto. Foto wajah wanita, pria, anak-anak, atau remaja dalam suatu sukubangsa kini lebih banyak terlihat dalam buku-buku etnografi.
     Berbeda halnya dengan adat-istiadat atau kebudayaan, yang mempunyai tiga wujud atau aspek, yakni: aspek material atau fisik (material aspect), aspek perilaku (behavioral aspect), dan aspek ide atau gagasan (ideational aspect). Untuk menyajikan kebudayaan dalam aspek materialnya, etnografer dapat menggunakan foto-foto, seperti misalnya foto rumah, peralatan transportasi, peralatan pertanian, peralatan berburu, pakaian, dan sebagainya. Cara ini lebih praktis daripada kalau etnografer memapar-kan berbagai benda atau peralatan tersebut dengan menggunakan kata-kata. Namun, cara ini kurang dapat digunakan untuk menyajikan kebudayaan pada aspek perilaku-nya, karena fotonya akan menjadi sangat banyak.
     Untuk menampilkan aspek perilaku dari kebudayaan para etnografer masih banyak memanfaatkan bahasa. Berbagai kegiatan sukubangsa yang diteliti, seperti misalnya kegiatan bertani, mencari ikan, berburu, mencari hasil hutan, menggembala, pernikahan, pengobatan tradisional, gotong-royong, kesenian dan sebagainya, hanya dapat ditampilkan dengan baik melalui kata-kata. Menampilkan berbagai kegiatan dalam sebuah upacara keagamaan hanya dapat dilakukan dengan baik kalau si etnografer meng-gunakan kata-kata, bukan gambar. Penyajian sebuah upacara keagamaan lewat foto-foto bukan hanya kurang praktis, tetapi juga kurang dapat menampilkan dinamika atau informasi lain yang tidak tampak, tetapi terkandung dalam upacara tersebut.

     Sebagai tulisan, etnografi kini biasa diartikan sebagai tulisan mengenai suatu suku-bangsa yang didasarkan pada suatu penelitian atau pengalaman penulis (etnografer) dalam perjumpaan, berhubungan, berinteraksi dengan suatu komunitas, masyarakat atau sukubangsa tertentu. Tulisan ini bisa berupa berita di sebuah suratkabar mengenai upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh sebuah sukubangsa di salah satu pula kecil dan terpencil di bagian selatan kepulauan Maluku; bisa pula sebuah artikel pendek di situ tentang adat pernikahan orang Betawi di kota Jakarta; bisa pula sebuah artikel tentang cara penyembuhan orang kesurupan pada sebuah komunitas di desa Jawa, atau sebuah artikel mengenai karapan sapi di Madura, dengan berbagai adat-kebiasaannya, dan masih banyak lagi.

     Etnografi juga bisa berupa sebuah artikel ilmiah di sebuah jurnal ilmu sosial mengenai sistem ekonomi sebuah komunitas, perubahan-perubahan yang terjadi di situ, serta berbagai faktor penyebabnya; mengenai cara-cara suatu masyarakat menyelesaikan konflik komunal dengan memanfaatkan pranata-pranata tradisional yang mereka miliki; mengenai pola pengasuhan anak-anak dalam suatu masyarakat dan pola-pola kepribadian yang terbentuk karena pola pengasuhan seperti itu; mengenai pola-pola pengobatan tradisional yang masih dilakukan oleh suatu masyarakat, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan mereka, dan sebagainya. Berbeda dengan jenis tulisan yang pertama, tulisan-tulisan seperti ini biasanya merupakan hasil penelitian yang cukup lama, yang dikerjakan dengan teliti dan tekun, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara “ilmiah”. Jurnal-jurnal ilmiah ilmu sosial dan budaya banyak sekali berisi tulisan-tulisan seperti ini.

     Kalau etnografi berupa artikel mendeskripsikan salah satu item kebudayaan (aktivitas rituil, pengobatan, cocok-tanam, dsb.) dengan singkat, dan etnografi berupa artikel ilmiah mendeskripsikan salah satu unsur kebudayaan (sistem pertanian, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, dsb.) dengan cukup mendalam, maka etnografi berupa buku (monografi) biasanya akan mendeskripsikan sejumlah unsur kebudayaan yang hubungannya erat satu sama lain, misalnya sistem kekerabatan dengan sistem politik, dengan sistem kepercayaan, dengan mitos, dengan sistem matapencaharian, dan sebagainya. Etnografi yang terakhir inilah yang biasa disebut sebagai etnografi yang holistik (utuh). Etnografi dari jenis kedua dan ketiga inilah yang kini merupakan landasan utama dari sebuah disiplin yang bernama Antropologi, khususnya Antropologi Budaya atau Etnologi.
     Dari penelitian selama beberapa bulan pada suatu masyarakat ini peneliti kemudian dapat menulis beberapa etnografi, tergantung pada kreativitas dan produktivitas masing-masing. Dari satu kali penelitian lapangan, seorang peneliti yang kreatif dan produktif dapat menulis mengenai sistem matapencaharian sukubangsa yang diteliti, sistem kepercayaan yang mereka anut, rituil tertentu yang dipandang penting dalam masyarakat, sistem kekerabatan mereka, mitos-mitos yang hidup di kalangan mereka, bahkan juga kesenian atau praktek-praktek pengobatan yang mereka lakukan. Pendeknya peneliti dapat menulis etnografi mengenai unsur-unsur kebudayaan yang me-narik perhatiannya selama di lapangan.
     Penelitian lapangan yang tidak begitu lama, membuat peneliti agak sulit untuk mempelajari bahasa lokal serta mengenal adat-istiadat atau kebudayaan masyarakat yang diteliti dengan mendalam. Peneliti sulit mengetahui saling keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain. Oleh karena itu, etnografi yang ditulis juga umumnya bersifat sepotong-sepotong. Misalnya, peneliti menulis tentang sistem kekerabatan terlebih dulu, kemudian diterbitkan. Kemudian menulis lagi tentang sistem ekonomi atau matapencaharian, kemudian diterbitkan. Menulis lagi tentang sistem politik, dan diterbitkan lagi. Demikian seterusnya.
     Kesan yang kemudian muncul pada mereka yang membaca etnografi semacam itu adalah bahwa unsur-unsur budaya tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Hal semacam ini memang tidak banyak berpengaruh pada kerja antropologi sebagai sebuah disiplin, karena antropologi di masa itu dimaksudkan sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk merumuskan generalisasi-generalisasi atau “hukum-hukum” tentang gejala kebudayaan, yang dihasilkan dari studi perbandingan kebudayaan, sebagaimana yang dirintis dan dikerjakan oleh E.B.Tylor. Etnografi seperti itulah yang ada dalam antropologi di masa itu, yang juga masih bertahan sampai sekarang. Meskipun demikian, perkembangan baru juga telah terjadi dalam penelitian dan etnografi di awal abad 20.
     Kini, setelah penelitian-penelitian antropologi berkembang dengan pesat, etnografi sebagai bagian dari paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut juga mengalami perkembangan yang pesat pula. Jika etnografi merupakan salah satu unsur dalam paradigma, maka etnografi-etnografi yang ada dalam antropologi tentunya dapat diklasifikasikan berdasarkan atas dasar paradigmanya. Jika demikian tentunya kita akan dapat menemukan etnografi evolusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma evolusi kebudayaan-; etnografi diffusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma diffusi kebudayaan-, etnografi fungsionalistis  -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma fungsionalisme-, etnografi struktural -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma strukturalisme, dan sebagainya.

     Pertanyaannya kemudian adalah: adakah contoh-contoh etnografi seperti itu? Tentu saja ada, sebab kalau tidak ada maka kehadiran sebuah paradigma tidak akan pernah diketahui. Keberadaan paradigma hanya dapat diketahui dari etnografi yang telah dihasilkan oleh penelitian dengan menggunakan paradigma tersebut. Akan tetapi, sayangnya etnografi-etnografi tersebut tidak semuanya dapat diperoleh di Indonesia. Sebagian besar etnografi tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, beberapa etnografi yang ditulis ahli-ahli antropologi Indonesia dapat kita jadikan contoh dari etnografi dengan corak tertentu.

     Buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat, dan buku etnografi dari Koentjaraningrat sendiri, Kebudayaan Jawa, serta buku Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya dari Johszua Mansoben merupakan buku-buku etnografi dengan paradigma studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural comparison). Pada buku dari Koentjaraningrat corak ini terlihat dari cara para penulis di situ menyusun etnografinya, yakni dengan mengelompokkan data etnografis yang diperoleh ke dalam judul-judul unsur kebudayaan, seperti “sistem kekerabatan”, “agama dan religi”, “matapencaharian”, “bahasa”, dan sebagainya. Pada buku Mansoben klasifikasi yang terlihat adalah  klasifikasi unsur-unsur sistem politik. Dengan etnografi yang sama coraknya mereka yang ingin melakukan studi perbandingan kebudayaan akan sangat terbantu oleh buku-buku tersebut.
     Buku Javanese Trah dari Sjafri Sairin, buku Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan (edisi baru dari buku Minawang) dari Ahimsa-Putra, dan buku Konflik dan Integrasi dari Achmad Fediyani Saifuddin merupakan contoh etnografi dengan corak fungsional. Dalam hal ini Javanese Trah terlihat lebih bercorak fungsionalisme dari Malinowski, sedang buku Hubungan Patron-Klien dan Konflik dan Integrasi lebih memperlihatkan corak fungsionalisme-struktural dari Radcliffe-Brown dan Durkheim.

     Buku Orang Jawa dan Gunung Merapi dari Lucas Triyoga Sasongko, artikel Ahimsa-Putra “Air dan Sungai Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi”, buku Lahajir Etnoekologi Orang dayak Tunjung Linggang adalah beberapa contoh dari etnografi dengan paradigma etnosains. Di sini disajikan sistem kategorisasi peneliti mengenai gejala-gejala yang ada di lingkungan mereka. Pada buku Sasongko kategorisasi tersebut adalah mengenai mahluk-mahluk halus di kawasan Merapi, pada tulisan Ahimsa-Putra kategorisasi tersebut adalah mengenai air dan sungai Ciliwung, pada buku Lahajir kategorisasi tersebut mengenai hutan.
     Buku Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra, dan buku Laksono Tradisi dan Struktur pada Masyarakat Jawa, sangat jelas memperlihatkan paradigma yang mendasarinya: strukturalisme. Perbedaannya adalah etnografi Jawa dari Laksono lebih diwarnai oleh strukturalisme Belanda, sedang buku Ahimsa-Putra jelas dipengaruhi oleh strukturalisme Lévi-Strauss.

     Menguatnya pendidikan antropologi strata 2 dan 3 semenjak tahun 1990an telah memengaruhi kuantitas dan kualitas etnografi di Indonesia. Etnografi dengan paradigma yang lebih bervariasi telah dihasilkan oleh para master dan doktor antropologi. Sayangnya, sebagian besar etnografi mereka tetap tinggal sebagai tesis master dan disertasi doktor. Tidak banyak hasil kajian mereka yang kemudian terbit dalam bentuk sebuah buku atau artikel di jurnal yang dapat diakses oleh lebih banyak orang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "APA ITU ETNOGRAFI"

Post a Comment